Rabu, 25 April 2012

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KINERJA PERAWAT


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pelayanan keperawatan kesehatan pada rumah sakit/puskesmas merupakan salah satu pelayanan yang sangat penting dan berorientasi pada tujuan yang berfokus pada penerapan asuhan keperawatan yang berkualitas, sehingga dapat memberikan suatu pelayanan yang berkualitas kepada pasien yang menggunakan jasa. Kemampuan memberikan pelayanan asuhan keperawatan secara profesional sesuai standar keperawatan sangat tergantung pada bagaimana kinerja perawat rumah sakit/puskesmas dalam menerapkan standar asuhan keperawatan (Ilyas 2006).
Standar pelayanan berguna dalam penerapan norma dan tingkat kinerja yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Penerapan standar pelayanan akan sekaligus melindungi masyarakat, karena penilaian terhadap proses dan hasil pelayanan dapat dilakukan dengan dasar yang jelas. Dengan adanya standar pelayanan, yang dapat dibandingkan dengan pelayanan yang di peroleh.
Peran tenaga perawat dalam peyelenggaraan pelayanan kesehatan sangatlah penting khususnya sebagai tenaga pelaksana pelayanan yaitu tenaga perawat relatif lebih banyak dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya, maka wajarlah jika kinerja perawat sangat berperan untuk menjadi penentu bagi citra rumah sakit/puskesmas. Oleh karena itu perawat harus senantiasa dipertahankan dan ditingkatkan seoptimal mungkin, serta perlu mendapatkan dukungan dari pihak rumah sakit atau instansi kesehatan lainnya (Depkes, 2004). 
Pelayanan keperawatan merupakan bagian pelayanan kesehatan yang berlangsung selama 24 jam dan berkesinambungan. Hal ini merupakan salah satu ciri yang membedakan pelayanan keperawatan dengan pelayanan kesehatan lainnya. Pelayanan keperawatan yang dilaksanakan oleh tenaga keperawatan terdiri dari berbagai jenis dan mutu pelayanan serta relatif lebih banyak kegiatan yang dilaksnakan dalam memberikan asuhan keperawatan selama 24 jam dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya, sehingga pelayanan keperawatan sangat mempengaruhi mutu pelayanan di rumah sakit, puskesmas maupun di masyarakat (Depkes, 2004)

Pelayanan keperawatan merupakan inti dari dari suatu pelayanan kesehatan. Farry (2005), menjelaskan bahwa 40-60 % pelayanan di rumah sakit/puskesmas merupakan pelayanan keperawatan. Sebagai pelaksana dan pengelola pelayanan, perawat harus mampu mengembangkan bentuk pelayanan yang dapat dijangkau oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya secara berkesinambungan. Perawat adalah salah satu unsur vital dalam rumah sakit/puskesmas. Perawat, dokter dan pasien merupakan salah satu kesatuan yang saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. Perawat sebagai bagian yang penting dituntut memberikan perilaku membantu, dalam rangka membantu pasien untuk mencapai kesembuhan. Tanpa perawat kesejahteraan pasien akan terabaikan, karena perawat adalah penjalin kontak pertama dan terlama dengan pasien. Untuk itu pada tahun 2010 sampai 2020, perawat dituntut untuk mampu memberikan pelayanan profesionl berdasarkan standar global, artinya perawat harus bersaing dengan munculnya rumah sakit swasta dengan segala kompetisinya, dimana perawat dapat meningkatkan mutu pelayanan, meningkatkan profesionalisme kerja, memperbaiki dan menyempurnakan sistem pelayanan yang lebih efektif.
Kinerja tenaga perawat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu disiplin kerja, tingkat pendidikan, motivasi kerja, pelatihan, fasilitas kerja, masa kerja, intensif berupa materi (uang) sesuai dengan kinerja yang mereka lakukan, maka dengan sendirinya kinerja perawat dapat dilakukan dengan optimal yang tentunya berdampak positif terhadap kepuasan dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien (Suryadi, 2009).
Penelitian tentang waktu kerja produktif personil Puskesmas di Indonesia ditemukan bahwa waktu kerja produktif personil adalah 53,2% dan sisanya 46,8% digunakan untuk kegiatan non produktif. Dari 53,2% kinerja produktif, hanya 13,3% waktu yang digunakan untuk kegiatan pelayanan kesehatan, sedangkan sisanya 39,9% digunakan untuk kegiatan penunjang pelayanan kesehatan (Ilyas,2006) Kenyataan ini  akan mempengaruhi kinerja personil itu sendiri dan kinerja institusi pelayanan kesehatan pada umumnya.
Kinerja tenaga kesehatan merupakan masalah yang harus dikaji untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan karena dapat memberikan kejelasan tentang faktor yang berpengaruh terhadap kinerja personal dalam hal ini adalah perawat. Kinerja perawat adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang perawat dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing, tidak melangar hukum, aturan serta sesuai moral dan etika, dimana kinerja yang baik dapat memberikan kepuasan pada pengguna jasa. Untuk aktivitas seorang perawat adalah mengumpulkan data kesehatan mengenai pasien, membuat dignosis menurut ilmu keperawatan, menetapkan tujuan keperawatan, melaksanakan keperawatan serta evaluasi terhadap perawatan (Suryadi, 2009).
Di Indonesia sesuai dengan yang dilaporkan oleh Ilyas, bahwa perawat profesional baru mencapai 2 % dari jumlah perawat yang ada. Sedangkan d Filipina, perawat profesional telah mencapai 40 %, dengan tingkat pendidikan strata 1 dan 2. Keadaan tersebut dapat berpengaruh terhadap kinerja personal perawat maupun instansi pelayanan kesehatan (Ilyas, 2006).
Hasil survei awal yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh jumlah keseluruhan tenaga perawat yang bekerja di RSU Provinsi Sultra yaitu sebanyak 388 orang dengan distribusi pendidikan yaitu S1 keperawatan sebanyak 15 orang, D3 keperawatan sebanyak 191 orang dan SPK sebanyak 41 orang (Rekam medik RSU Provinsi Sultra tahun 2012).
Selain itu pula, dari hasil survey awal berdasarkan informasi dari salah satu pegawai Balitbang RSU Provinsi Sultra, mengatakan bahwa ada beberapa perawat yang sering terlambat ketika masuk kerja dan banyak yang pulang lebih awal. Berdasarkan data rekapan absensi RSU Provinsi Sultra pada bulan Januari – Maret 2012, dari 388 perawat ada 18 perawat yang nilai kehadirannya kurang dari 70 % .
Bertolak dari penjelasan latar belakang diatas, maka peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Perawat Di Ruangan Seruni Rsu Provinsi Sultra Tahun 2012”.
B.     Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Faktor-Faktor Apa Sajakah Yang Berhubungan Dengan Kinerja Perawat Di Ruangan Seruni RSU Provinsi Sultra tahun 2012?
C.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Kinerja Perawat Di Ruangan Seruni RSU Provinsi Sultra tahun 2012.
2.      Tujuan Khusus
2.1  Untuk mengetahui apakah faktor disiplin kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat Di Ruangan Seruni RSU Provinsi Sultra tahun 2012.
2.2  Untuk mengetahui apakah faktor insentif merupakan faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat Di Ruangan Seruni RSU Provinsi Sultra tahun 2012.
2.3  Untuk mengetahui apakah faktor motivasi kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat Di Ruangan Seruni RSU Provinsi Sultra tahun 2012.

D.    Manfaat Penelitian
1.    Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber informasi bagi Dinas Kesehatan dan Rumah sakit terkait dalam rangka menentukan arah kebijakan dalam program peningkatan kinerja perawat.
2.    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan sebagai
pedoman yang bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
Penelitian ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan serta aplikasinya dalam masyarakat

STUDI PENATALAKSANAAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BBLR DIRUANG BERSALIN DAN RUANG BAYI


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hampir 13 juta bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram di seluruh dunia setiap tahunnya. Dan dari jumlah tersebut lebih sejuta meninggal dalam sebulan setelah kelahiran. World Health Organization (WHO) sendiri mendefinisikan Bayi Berat Lahir Rendah sebagai bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gr. Definisi ini berdasarkan pada hasil observasi epidemiologi yang membuktikan bahwa bayi lahir dengan berat kurang dari 2500 gram mempunyai kontribusi terhadap kesehatan yang buruk. Menurunkan insiden Bayi Berat Lahir Rendah hingga sepertiganya menjadi salah satu tujuan utama “ A World Fit For Children” hingga tahun 2010 sesuai deklarasi dan rencana kerja United Nations General Assembly Special Session on Children in 2002. Lebih dari 20 juta bayi diseluruh dunia (15,5%) dari seluruh kelahiran, merupakan BBLR di Asia adalah 22% (Rahayu,2009).
Dewasa ini Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia saat ini masih tergolong tinggi dibandingkan dengan Negara –negara di bagian ASEAN. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1.000 kelahiran hidup. Di indonesia setiap tahun diperkirakan lahir sekitar 350.000 Bayi Berat Lahir Rendah dengan perkirakan prevelansi Bayi Berat Lahir Rendah mencapai 7-14 persen, bahkan pada beberapa kabupaten mencapai 16 persen. Padahal, berdasarkan simposium Low Birth Weight di Dhaka Banglades, tingkat indikasi BBLR lebih dari 15 persen. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7% (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009). 
Penyebab BBLR itu sendiri sangat kompleks. BBLR dapat disebabkan oleh kehamilan kurang bulan, bayi kecil untuk masa kehamilan atau kombinasi keduanya. Dengan  faktor penyebabnya diantaranya : faktor ibu , infeksi, bahan toksik, insufiensi atau disfungsi plasenta, dan faktor faktor lain, seperti merokok, peminum alkhol, plasenta previa, dan obat obatan, dsb

Berdasarkan laporan tahunan kegiatan pelayanan Puskesmas dan Rumah Sakit di Sulawesi Tenggara, AKB tahun 2009 berjumlah 198 kasus dengan jumlah BBLR 82 kasus, dan pada tahun 2010 AKB meningkat kembali menjadi 203 kasus dengan jumlah BBLR 116 kasus. (Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara, 2010).
Dari data awal yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum (RSU) Provinsi Sulawesi Tenggara, didapatkan pada tahun 2009 yaitu dari 1534 persalinan didapatkan bayi berat lahir rendah sebanyak 24 orang dengan angka kematian akibat BBLR berjumlah 28 orang. Tahun 2010 dari jumlah kelahiran bayi sebanyak  985 orang, yang mengalami bayi badan lahir rendah sebanyak 48 orang dengan angka kematian akibat BBLR berjumlah 29 orang sedangkan pada bulan Januari sampai April tahun 2011 dari jumlah kelahiran bayi dengan persalinan normal sebanyak 255 orang didapatkan bayi berat lahir rendah sebanyak 56 orang dengan angka kematian akibat BBLR berjumlah 3 orang (Rekam Medik RSU Provinsi Sulawesi Tenggara, 2011).
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara yang terkait dengan penelitian ini menetapkan prosedur tetap (Protap) yang menjadi pedoman petugas kesehatan khususnya bidan dalam melaksanakan tugasnya yang harus benar – benar dilaksanakan agar kualitas dan mutu pelayanan lebih dapat dipertanggung jawabkan, namun masih ada sebagian petugas kesehatan atau bidan yang bekerja dalam melakukan penatalaksanaan pada bayi berat lahir rendah tidak sesuai prosedur yang ada yaitu bidan dalam menangani asuhan kepada bayi berat lahir rendah tidak memakai sarung tangan, masker, dan tidak mencuci tangan bila kontak dengan bayi (Observasi awal di RSU Provinsi Sultra, 2011).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan penatalaksanaan bayi berat lahir rendah oleh bidan dengan judul, “Studi Penatalaksanaan Asuhan Kebidanan Pada Bayi Berat Lahir Rendah Di Ruang Kebidanan Dan Di Ruang Bayi RSU Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011”.

B.    Rumusan Masalah 
                  Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran penatalaksanaan asuhan kebidanan oleh bidan pada tahap pengkajian, diagnosa masalah aktual, diagnosa masalah potensial, identifikassi kebutuhan yang memerlukan penanganan segera kolaborasi dan emergency, perencanana asuhan kebidanan, pelaksanaan / implementasi dan evaluasi asuhan kebidanan Bayi Berat Lahir Rendah di di Ruang Kebidanan Dan di Ruang Bayi Rumah Sakit Umum (RSU) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2011

STUDI PENATALAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK BALITA DENGAN PENDERITA DIARE

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan suatu Negara. Menurut Sujudi. A (2005) salah satu penyebab kesakitan dan kematian anak Balita (di bawah 5 tahun) adalah penyakit menular berbasis lingkungan seperti penyakit diare. Sebagai gambaran, diare memberikan kontribusi 13 % terhadap kematian pada anak usia 1- 4 tahun dan sampai saat ini diare tetap sebagai child killer  peringkat  pertama di Indonesia (Warouw, 2007).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota Assosiation South East Asia Nation (ASEAN) yakni 31/1.000 kelahiran, hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1000) dan laos (82/1000). Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki AKB amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan masih rendahnya perhatian pemerintah terhadap masalah kesehatan yang dihadapi anak-anak (Lubis. A,2008).
Menurut catatan World Health Organization (WHO), diare membunuh dua juta anak di dunia setiap tahun. Diare hingga kini masih merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada bayi dan anak-anak. Saat ini morbiditas (angka kesakitan) diare di Indonesia mencapai 195 per 1000 penduduk dan angka ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara di Asean (kalbe.co.id diakses tanggal 20 maret 2012).
Diare merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan terutama pada anak Balita. Kematian dan kesakitan anak Balita (dibawah 5 tahun) masih menunjukkan angka yang cukup tinggi terutama dinegara berkembang termasuk Indonesia. Kejadian diare di Indonesia diperkirakan sekitar 60 juta kasus setiap tahunnya, dari jumlah kasus tersebut 70-80 % adalah anak dibawah 5 tahun atau kurang lebih 40 juta kasus (Suharyono ,2005).
Dampak negatife penyakit diare pada bayi dan anak-anak antara lain menghambat proses tumbuh kembang anak yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup anak. Penyakit diare di masyarakat (Indonesia) lebih dikenal dengan istilah “muntaber”. Peyakit ini mempunyai konotasi yang mengerikan serta menimbulkan kecemasan dan kepanikan warga masyarakat karena bila tidak segera diobati, dalam waktu singkat penderita akan meninggal (Nelson. 2007).
Kematian yang diakibatkan oleh diare lebih sering karena tubuh mengalami dehidrasi, yaitu gejala kekurangan cairan dan elektrolit. Tanda-tanda dehidrasi diantaranya anak memperlihatkan gejala kehausan, berat badan turun, dan elastisitas kulit berkurang. Ini bisa dilakukan dengan cara mencubit kulit dinding perut. Bila terjadi dehidrasi, maka kulit dinding perut akan lebih lama kembali pulih (Siswono, 2006).
Kematian  akibat diare biasanya  bukan  karena adanya infeksi dari bakteri atau virus tetapi karena terjadi dehidrasi .  Pada diare yang hebat anak akan mengalami buang air besar dalam bentuk encer beberapa kali dalam sehari dan sering disertai dengan kejang, panas,  dan muntah,  maka tubuh akan  kehilangan banyak air dan garam–garam sehingga bisa berakibat dehidrasi, yang tidak jarang berakhir dengan ”syok” dan kematian. Penderita diare perlu mendapat perawatan medis yang tepat  dengan menggunakan jasa pelayanan kesehatan, sehingga cepat sembuh dan pulih kembali (Widjaja, 2006). Kematian diare kronik masih tinggi yaitu 20,3% sedangkan angka kematian akibat diare akut sudah dapat ditekan mendekati nol (Suharyono, 2008).
Kekurangan cairan sangat berbahaya bila terjadi pada bayi, untuk itu ibu perlu melakukan tindakan yang cepat dan tepat dengan membawa bayi dan anak kepetugas kesehatan, dimana tugas seorang petugas kesehatan memberikan solusi dan penanganan kepada anak dengan melakukan mutu pelayanan kesehatan. Mutu itu sendiri adalah : tingkat kepatuhan terhadap standard yang telah ditetapkan (Crosby,2005).
Data Departemen kesehatan RI menunjukkan 5.501 kasus diare sepanjang tahun 2007 lalu di 12 provinsi, jumlah ini meningkat drastis dibandingkan dengan jumlah pasien diare pada tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 1.436 orang. Diawal tahun 2008, tercatat 2.159 orang di Jakarta yang dirawat dirumah sakit akibat menderita diare.Melihat data tersebut dan kenyataan bahwa masih banyak kasus diare yang tidak terlaporkan, departemen kesehatan menganggap diare merupakan isu prioritas kesehatan ditingkat lokal dan nasional karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes ,RI 2008).
Data Sub Dinas Pemberantasan Penyakit Menular (PPM) Dinas Kesehatan Tingkat I Provinsi Sultra jumlah penyakit diare pada anak meningkat tahun 2005 sebanyak 17.976 orang, jumlah penderita diare pada anak meningkat menjadi 21.634 orang pada tahun 2006. Kemudian jumlah penderita diare pada tahun 2007 berjumlah 21.871 orang (Dinkes Propinsi Sultra, 2007).
Data Sub Dinas Pemberantasan Penyakit Menular (PPM) Dinas Kesehatan Kota Kendari jumlah penederita diare pada anak tahun 2005 sebanyak 2.997 orang, jumlah penderita diare pada anak meningkat menjadi 3.490 orang pada tahun 2006. Kemudian jumlah penderita diare pada tahun 2007 berjumlah 3.672 orang (Dinkes Kota Kendari, 2008).
Data dari Dinas Kesehatan Kota Kendari tahun 2007 menunjukkan prevalensi kejadian diare di Kota Kendari sebesar 2,34 % (5.312 kasus) dan 3.134 kasus (58,9 %) terjadi pada Balita dengan korban meninggal 2 orang (CFR: 0,04 %). Pada tahun 2008 meningkat menjadi 23,47 % (5.614 kasus) dan sebanyak 3.390 kasus (60,4 %) terjadi pada Balita  dengan  korban meninggal 3 orang (CFR: 0,05 %) dan pada tahun 2009 meningkat kembali sebanyak 3,05 % (6.923 kasus), sebanyak 4.122 kasus (59,5 %) terjadi pada Balita dengan korban meninggal 3 orang (CFR: 0,04 %).(Dinas Kesehatan Kota Kendari, 2009).
Bertolak dari penjelasan diatas, maka sudah selayaknya tenaga kesehatan melakukan upaya-upaya pengololaan diare dan dilaksanakan secara menyeluruh meliputi penyuluhan kesehatan yang baik guna meningkatkan pengetahuan orang tua, menggalakan imunisasi, ibu memberika asi pada bayinya dan penatalaksanaan penderita secara medik sebagaimana lazimnya.
Keberadaan perawat dalam suatu sarana kesehatan seperti rumah sakit untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya dalam memberikan asuhan keperawatan dinilai sangat memberikan konstribusi terhadap kesembuhan pasien, oleh karena itu, pengetahuan perawat tentang penatalaksanaan asuhan keperawatan penderita dehidrasi pada balita merupakan hal yang vital dalam hal memberikan asuhan keperawatan pada penderita Diare (Zaidin, 2008).
Berdasarkan profil kesehatan  di RSUD Abunawas kota kendari bahwa penyakit diare dengan dehidrasi cendrung meningkat dimana  Tahun 2009 penderita diare berjumlah 121 Kasus sedangkan  pada tahun 2010 berjumlah 278 Kasus Dan pada tahun 2011 berjumlah 343 Kasus. Berarti penderita dehidrasi yang di rawat di RSUD Abunawas kota kendari setiap tahun terjadi peningkatan. (Rekam Medik RSUD Abunawas kota kendari tahun 2011).
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan tanggal 29 Maret tahun 2012, dengan mengambil sampel 10 orang perawat yang ada di RSUD Abunawas, yang melakukan asuhan keperawatan yang sesuai dengan SAP pada penderita diare dengan dehidrasi adalah 7 orang atau 70 %, sedangkan yang tidak melakukan asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar SAP adalah 3 orang atau 30%, berdasarkan hasil observasi di atas menunjukkan bahwa masih terdapat tenaga perawat yang belum melakukan asuhan keperawatan secara lengkap berdasarkan  SAP (Standar Asuhan Perawatan). 
Berdasarkan dari uraian data tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Studi Penatalaksanaan Asuhan Keperawatan Pada anak balita penderita dehidrasi Yang Dirawat Di ruang Mawar RSUD Abunawas tahun 2012”.